Kita pasti ingin tetap punya kemampuan untuk tidak dipermainkan dengan emosi yang meletup-letup. Karena bagaimana pun juga, manusia adalah mahluk yang penuh emosi dan emosi yang paling sulit dibendung adalah rasa marah, kesal, atau jengkel. Itu sebabnya, selama puasa, menahan emosi juga menyadarkan kita akan seberapa matang ketenangan jiwa berhasil dibentuk.
Sebab mengendalikan emosi sama dengan mengendalikan ego dan kesadaran kita. Menurut Peter Salovey dan John D. Meyer, pakar yang memperkenalkan istilah kecerdasan emosi, kemampuan kita untuk mengendalikan emosi akan merujuk pada kematangan intelegensia.
Kaitannya, emosi yang terkendali akan membuat kita dapat dengan sadar menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru. Artinya, kita mampu melibatkan diri atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi dengan mendasarkan pada pertimbangan ada informasi atau kegunaan. Agar kecerdasan emosi kita tetap terjaga, sampai bulan Ramadhan berlalu, coba terapkan 5 trik praktis berikut ini:
1. Coba pahami mengapa kita harus marah.
Kenali, pada level emosi yang mana amarah kita berada. Jika kita merasa sudah sangat emosional, cobalah berbicara pada orang yang kita percaya. Ini bertujuan untuk memperolah pendapat orang ketiga mengenai masalah yang memicu emosi kita. Dengan begitu kita bisa menggambarkan emosi kita lebih jelas lagi.
2. Cobalah untuk tenang dan relaks.
Saat kita tenang, kita dapat memiliki perspektif yang lebih jelas terhadap sumber masalah. Dan ketenangan bisa kita dapat dengan hanya duduk bersandar sambil memejamkan mata, mendengarkan lagu, berjalan kaki, atau saat beryoga. Sebenarnya saat kita meluangkan waktu untuk relaks selama 10-15 menit setiap harinya, maka kita sudah melatih diri untuk mengendalikan emosi. Cukup lakukan aktivitas yang dapat menyimpulkan senyum di wajah dan kita bisa lebih relaks dalam memandang berbagai masalah.
3. Sadarilah bahwa tidak semua orang punya pendapat yang sama dengan kita.
Jika kita merasa kecewa saat pendapat kita tak diterima oleh orang lain, itu wajar. Tapi jika kita merasa marah berlebihan setiap kali pendapat kita tidak diterima, maka kita membiarkan diri dikendalikan oleh emosi.
Ada begitu banyak alasan orang menerima atau menolak pendapat kita yang terpenting adalah bagaimana kita mengkomunikasikan semuanya dengan baik. Melalui komunikasi yang baik, kita dapat menyakinkan mengapa pendapat kita lebih baik. Plus komunikasi juga membuat kita dengan terbuka menerima perbedaan pendapat dari orang lain.
4. Percayalah menenangkan diri selalu lebih baik dari pada perang kata-kata.
Salah satu ekspresi amarah adalah lontaran kata-kata yang keluar tanpa terkendali dan yang kita sadari berikutnya, kita menyesali semua yang kita ucapkan. Percaya atau tidak, kata-kata lebih sulit dihapuskan dari memori kita dan orang lain. Dunia psikologi menyebutnya kekerasan kata-kata.
Tak jarang kekerasan kata-kata menarik kita pada konsekuensi yang lebih serius dari sekadar sakit hati, yaitu tuntutan pengadilan. Oleh karena itu, ada baiknya kita menenangkan diri untuk kemudian mengekspresikan apa yang menjadi kekecewaan kita. Dan setelah segala amarah berlalu, tulislah di secarik kertas, situasi apa saja yang bisa membuat emosi kita begitu mudah mengucapkan kata-kata kasar. Dengan mengenali situasi, kita jadi mengerti bagaimana untuk menghindarinya, sebab pengendalian emosi juga butuh proses belajar untuk membuatnya jadi kecerdasan emosi.
5. Jangan Mau Diperdaya Asumsi
Asumsi hanya akan membuat amarah kita semakin dalam dan sudah pasti bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Yang harusnya kita lakukan adalah, konfirmasi semua asumsi dengan tenang agar semua kecurigaan bisa berakhir pada sumber masalah yang sesungguhnya. Plus, kita tak perlu berlama-lama menyimpan emosi sendirian.