KAMI BEDA, tapi KAMI Dapat BERSATU..

Kerapkali dilontarkan pernyataan bahwa cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang subtil dan menembus batas. Dikatakan subtil (halus/tak kentara) karena memang misterius. Tak ada seorangpun yang mampu secara pasti memahami mengapa, bagaimana dan kapankah cinta datang, bersemi serta menghangatkan sanubari. Agaknya dari situ lantas jamak dipopulerkan idiom “jatuh cinta,” mengingat kehadiran cinta yang tiba-tiba, layaknya seseorang yang tiba-tiba terpelanting dan jatuh. Dan dikatakan menembus batas karena memang itulah keniscayaan cinta. Semua bangunan tembok pemisah yang direka oleh manusia seperti ras, adat, suku, budaya, bahasa, aturan main, ideologi dan agama, pada kenyataannya tak dapat membendung nyala cinta. Karena nyalanya adalah nyala api TUHAN! –demikian sabda Kidung Agung.

Begitu sepasang anak manusia terhisap dalam pusaran cinta, maka secara substantive sejatinya tiada yang dapat menghalangi kesatuannya. Dan kalaupun toh dipaksa untuk berpisah, maka tentu akan segera bermunculan kisah-kisah baru; kisah cinta berlatar tragedi sejenis Romeo and Juliet ataupun Siti Nurbaya. Karenanya tak berlebihan jika kitab Kidung Agung di dalam Perjanjian Lama memberikan apresiasi yang sangat mendalam akan keagungan cinta: “Begitu cinta membara, maka sungai-sungai tak dapat memadamkan serta menghanyutkannya.”

Dengan demikian cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sacred, sakral. Bersumber dari kedalaman Kasih Sang Khalik sendiri.

Bahwa dalam perjalanannya cinta menjadi tidak lagi sakral dan tercemari oleh banyak pengaruh profan yang bersumber dari kedagingan manusia, sehingga pijar cinta memudar atau malah musnah, maka itu perkara lain. Namun penghargaan terhadap cinta adalah sesuatu yang mutlak.

Maka dalam rangka menopang dan mengupayakan struktur pendukung bagi keberadaan cinta, institusi perkawinan pun lantas hadir serta mengemuka. Dan mereka yang hendak melangsungkan perkawinan pada prinsipnya tak boleh dihalang-halangi. Seorang penjahat yang paling sadis pun diperkenankan, dijamin atas nama cinta dan Hak Azasi Manusia, tidak boleh dilarang jika meminta melangsungkan perkawinan. Konsekuensinya, hal yang sama juga idealnya diberlakukan bagi sepasang anak manusia yang berbeda agama….Kawin beda agama, mengapa tidak ?

II. Kawin beda agama (campur) dalam Alkitab

Jika mencermati kisah-kisah perkawinan dalam Perjanjian Lama, maka terdapat penolakan, atau dengan kata lain, kata TIDAK atas frase kawin beda agama.

(Lihat kisah Ulangan. 7:1-11; Keluaran. 34:12-16; Maleakhi. 2:10-15; Ezra. 2:59-62; Nehemia. 7:61-64; 13:23-29.) Sebagaimana penelusuran kawan saya, Pdt Andri Purnawan, penolakan tersebut dilatarbelakangi pemahaman bahwa tatkala perkawinan beda agama dilakukan maka umat Yahweh yang secara kuantitas jumlahnya jauh lebih kecil daripada umat/bangsa lain yang berbeda agama akan terancam luntur.

Atas dasar kekuatiran lenyapnya Yahwehisme, demi alasan mengamankan identitas, serta konservasi jumlah penganut iman yang sedikit, maka munculah pelarangan dan penolakan terhadap kawin beda agama/beda suku. Umat Yahweh hanya boleh kawin dengan sesama umat Yahweh, tidak boleh kawin dengan goyim/yang bukan umat Yahweh.

Namun berdasar penelusuran Pdt Andri Purnawan, tak dapat dipungkiri pula bahwa kenyataan dari perjumpaan dengan peradaban dan suku bangsa lain yang beragam, menjadikan kawin beda agama sebagai realitas yang tak terhindarkan. Andri mencatat bahwa, bahkan “tokoh-tokoh besar” Israel pun mengalaminya, seperti diperlihatkan dalam :

* Kej. 38 :1-2 (Yehuda kawin dengan Syua,wanita Kanaan)
* Kej. 46: 10 (Simeon kawin dengan wanita Kanaan)
* Kej. 41:45 (Yusuf kawin dengan Asnat, anak Potifera, imam di On-Mesir)
* Kej. 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Beeri orang Het)
* Bil. 12:1 (Musa – sang pemimpin Israel – kawin dengan seorang perempuan Kusy)

Bahkan dalam konteks tertentu malah diijinkan. Sebagaimana terdapat dalam Ulangan 21:10-14. yang merupakan rangkaian dari perikop yang berbicara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel (lihat Ul. 20 – 21 :14). Andri mengungkapkan bahwa pada bagian ini dengan gamblang diatur apabila Israel menang perang, menawan musuh dan diantaranya ada para perempuan yang menarik, maka perempuan itu harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati hak-haknya.Lalu “sesudah itu bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi istrimu.” Dalam konteks ini perkawinan dengan perempuan non-Israel/yang beragama lain diijinkan supaya umat tidak terjatuh pada dosa kejahatan perang, dalam hal perlakuan biadab terhadap para perempuan tawanan perang.

Dalam Perjanjian Baru (PB).
Andri Purnawan di dalam penelusurannya atas Perjanjian Baru mencatat penggunaan teks 2 Kor. 6:14 yang berbunyi “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” yang merupakan teks favorit, yang paling sering dikutip untuk melegitimasi pelarangan melakukan perkawinan dengan orang yang berbeda agama.

Namun jika menilik konteksnya, Andri menerangkan bahwa sejatinya ayat itu tidak ditujukan untuk melarang atau mendukung seorang Kristen menikah dengan orang non-Kristen, melainkan lebih ditujukan bagi mereka yang baru saja bertobat namun pasangannya masih memeluk kepercayaan yang lama. Tujuannya jelas, yakni agar orang-orang Kristen/petobat baru, benar-benar menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangannya. Mereka dipanggil untuk menularkan positive influence bagi pasangannya yang belum percaya. Paulus tetap melarang orang-orang Kristen menceraikan pasangannya yang berbeda iman, kecuali pasangannya yang menginginkan (lihat : I Kor. 7:12-16, I Petrus 3:1-7).

Maka dengan demikian, berdasarkan penelusuran Andri diatas, dapat diketengahkan pokok baru tentang kesucian.
Di dalam Yudaisme berkembang hukum halal-haram. Apabila yang suci bertemu dengan yang cemar, maka yang suci dikalahkan oleh yang cemar, oleh yang najis. Dari situ kemudian berkembang konsep separasi radikal yang memisahkan secara dikotomis antara -mereka yang suci-dengan-mereka yang najis.

Namun di dalam Perjanjian Baru konsep itu dirombak.

Yang suci tidak perlu bercerai dengan yang cemar. Umat tebusan tidak perlu memisahkan diri dari umat yang bukan tebusan. Karena bukan hanya yang najis/cemar saja yang dapat mempengaruhi. Yang suci pun juga mampu untuk mempengaruhi yang cemar. “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istrinya yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya”(1Korintus 7:14). Dan kenyataan ini menurut Pdt. DR Bambang Ruseno merupakan proklamasi yang luar biasa.

Gusti Yesus sendiri, melalui aksiNya yang menyentuh langsung orang yang terkena lepra, perempuan Samaria, perempuan yang kena pendarahan, dan kumpulan manusia lain –yang di dalam tradisi Yudaisme diklaim sebagai golongan cemar/najis-pada hakikatnya telah membongkar pemahaman tentang kesucian yang semula bersifat tertutup/eksklusif menjadi terbuka/inklusif. Dan tentunya roh dari pemahaman ini diteruskan serta digemakan ulang oleh Paulus selaku muridNya di dalam surat-surat penggembalaan, termasuk kepada jemaat di Korintus.

Jika dikaitkan dengan kawin beda agama, maka tatkala yang berbeda dianggap sebagai najis, secara teologis perkawinan itu tidak selalu bermakna bahwa yang suci akan dicemarkan oleh yang najis, sehingga harus dilarang. Melainkan dapat bermakna sebaliknya; yang najis sangat mungkin dipengaruhi oleh yang suci melalui kesaksian keseharian hidup yang nyata. Sehingga tidak harus dilarang.